— sepanjang menggelinjang demi meniti maslahat masyarakat
Penanggalan
adalah alat ukur yang disepakati oleh setiap orang sebagai penentu kejadian di
sekeliling mereka. Masyarakat Indonesia mengenal dua jenis penanggalan, yakni
penanggalan Qomariyyah (berdasarkan peredaran
Bulan) dan Syamsiyyah (berdasarkan
peredaran Matahari).
Hal itu membuat
kepelikan penyelarasan kedua jenis penanggalan tersebut. Kepelikan ini
disebabkan penanggalan Qomariyyah
memiliki dua cara penentuan, ialah hisab
(perhitungan) dan rukyat
(pengamatan).
Karena
penanggalan Islam didasarkan pada penanggalan Qomariyyah maka tentu saja segala peristiwa-peristiwa keagamaan
ditentukan berdasarkan penanggalan ini. Dengan demikian jadwal dapat ditentukan
dengan dua cara penentuan pada sistem penanggalan Bulan tersebut.
Padahal
hasil dari masing-masing cara ada kalanya berbeda. Piranti keilmuan yang
digunakan untuk menentukan jadwal penanggalan inilah yang disebut sebagai ilmu
falak. Sementara tokoh yang memiliki otoritas dalam ilmu ini disebut sebagai
ahli falak.
Satu
kebiasaan buruk ketika terjadi peristiwa-peristiwa penting dalam keseharian
keagamaan masyarakat dengan hasil penentuan yang berbeda adalah munculnya
pertikaian. Walau perbedaan yang ada tak selalu pantas berkelindan dengan
pertikaian, tetap saja sulit dihindarkan.
Terlebih
lagi setiap pihak yang berbeda memiliki alasan penguat dari pandangan mereka
terhadap landasan hukum yang biasanya juga dianggap kuat. Pertikaian menjadi
semakin ruwet (Jawa: rumit) ketika
setiap pihak tersebut merasa muruahnya merendah seiring pandangannya tak
diikuti oleh liyan.
Lebih
mengenaskan lagi, perbedaan pandangan terhadap cara penanggalan pada kerap
dianggap sebagai perbedaan akidah. Keadaan sejenis demikian terus menerus
menggerus kebersamaan bermasyarakat di Indonesia bahkan mungkin Nusantara.
Keadaan
demikian membikin masyarakat membutuhkan panutan yang patut dianut. The lead role model yang sanggup
mengatasi riak dengan bijak tanpa membikin liyan
merasa dirisak. Cara mengatasi yang sanggup diterima bersama dan dapat
dipertanggungjawabkan pada semua.
Dalam hal
penanggalan, masyarakat Indonesia serta Nusantara memiliki salah seorang ahli
falak mumpuni. Kemampuan mumpuni berpadu muruah tinggi membikin sosok tersebut
layak diteladani. Sosok yang karib disapa Mbah Tur tersebut bernama Turaichan
Adjhuri asy-Syarofi.
Mbah Tur
dilahirkan di Kudus, 10 Maret 1915, dari pasangan suami-istri Adjhuri dan
Sukainah. Kudus memiliki lingkungan agamis dan tradisi belajar sepanjang hayat
tanpa pernah musnah.
Mbah Tur pun
demikian. Sejak kanak-kanak, beliau terus belajar sebagaimana diwariskan oleh
keluarga dan dihidupkan bersama teman-teman. Mengaji dan mengkaji menjadi
keseharian.
Pengajian
dan pengkajian tak hanya dilakukan melalui pendidikan formal, juga melalui
pendidikan tidak formal. Mbah Tur memang tak berpisah dari keluarga di rumah
dengan ikut serta tinggal di asrama walakin gairah tak biasa membikin hasil
belajar yang dilakoni beliau fenomenal.
Terlebih
beliau mendapat anugerah daya ingat berlipat dan kecerdasan di atas rata-rata. Kecerdasan
ini memudahkan beliau dalam mendapatkan pemahaman terhadap perkara yang
dipelajarinya.
Alhasil,
pendidikan formal hanya dilakoni tak perlu lama-lama, walau pendidikan tidak
formal terus beliau lakukan sepanjang masa. Beliau tercatat sebagai assabiquna al-awwaluna (generasi
pendahulu) di Madrasah Tasywiquth Thullab Salafiyyah (TBS) Kudus, baik sebagai
pelajar, pengajar, pendidik, juga sosok ikonik.
Semenjak
madrasah legendaris tersebut didirikan, Mbah Tur sudah ikut serta memulai
perjuangan bersama rekan-rekan.
Perjuangan
tak sebatas pada lingkungan madrasah, lingkungan masyarakat yang lebih luas pun
sudah mulai dijamah. Beliau rajin ikut serta dalam beragam diskusi ilmiah juga
menjadi tempat mencari jawaban beragam masalah.
Ada kalanya
banyak orang mendatangi beliau untuk berungkap keluh-kesah. Beliau selalu hadir
di tengah kebersamaan dengan liyan
tanpa pernah kehilangan muruah.
Perlahan
malar, kiprah beliau tak sebatas pada lingkungan daerah. Kepiawaian beliau
dalam mengungkapkan pendapat disertai landasan kuat membikin nama beliau
dikenal hingga luar daerah. Beliau dikenal berani dalam berungkap pendapat
setiap terlibat perbincangan dengan liyan
tanpa merisaukan adanya perbedaan pandangan.
Gairah
berdiskusi ilmiah tak hanya dimiliki ketika sedang bercengkerama bersama ahli
yang lebih senior, bahkan bersama ahli yang lebih junior. Beliau merasa biasa
saja ketika pendapat yang dilontarkan berbeda dengan ahli yang lebih senior,
sepertihalnya beliau juga biasa saja ketika pendapatnya berbeda dengan ahli
yang lebih junior.
Kepada ahli
yang lebih junior, beliau bahkan memberikan apresiasi tinggi pada ahli yang
lebih junior ketika ahli tersebut sanggup mematahkan landasan yang diberikan.
Tak sekedar mengapresiasi, juga sembari berpesan supaya tak perlu ewuh pakewuh (Jawa: sungkan) ketika
terlibat diskusi.
Dalam kancah
politik beliau juga ikut terlibat aktif. Mulai ditunjuk beberapa kali menjadi
panitia Ad Hoc oleh Pengurus Pusat Partai NU (ketika Nahdlatul Ulama menjadi
partai) hingga masuk ke dalam lembaga legislatif.
Pengetahuan
disertai kebijaksanaan dalam memutuskan membikin beliau dipercaya menjadi hakim
pusat sepanjang 1955 hingga 1977. Sebuah perjalanan yang patut ditiru untuk
ditumbuhkembangkan selalu.
Walau
memiliki pengetahuan yang luas dan dalam, Mbah Tur lebih banyak dikenal oleh
banyak kalangan sebagai ahli falak. Ketika terlibat dalam diskusi terkait
falak, beliau dikenal tangguh dalam mengikutinya hingga tak jarang menghentak
khalayak.
Hentakan
beliau muncul terutama ketika Mbah Tur keukeuh pada pendapat beliau yang berbeda
dengan liyan. Keberadaan beliau dalam
tim Lajnah Falakiyyah PBNU tak serta merta membikin beliau menjelma sebagai yes man.
Mbah Tur bukan
sekedar keukeuh, walakin pendapat
beliau memang banyak selaras peristiwa keseharian ketika dibuktikan. Hal ini
membikin beliau semakin diperhitungkan.
Mbah Tur
memiliki rekam jejak bagus ketika muktamar NU dihelat. Beliau hanya absen
ketika ada udzur sedang tak sehat. Hanya saja belakangan beliau memilih memisahkan
diri dari organisasi. Pilihan ini terjadi ketika terjadi perubahan yang tak
lagi sesuai nurani.
Perpisahan
dari organisasi hanya dilakukan beliau untuk tingkat pusat. Sedangkan untuk
tingkat cabang beliau tetap ikut serta terlibat.
Keterlibatan
beliau kemudian di-jlentreh-kan (Jawa:
dipaparkan) dengan istilah ‘Lokalitas NU’ atau NU lokal. Istilah ini bermakna
tetap setia memperjuangkan organisasi NU dalam skala lokal tak termasuk
nasional.
Perpisahan
seperti iitu membuat beliau tak merasa terikat dengan segala keputusan yang
dibuat pusat. Termasuk ketika beliau memiliki perbedaan pendapat.
Walau
demikian, Mbah Tur menunjukkan sikap profesional dengan tetap menjalin
keharmonisan secara personal. Ketika melontarkan pendapat, Mbah Tur menegaskan
posisi beliau tanpa memaksa diterima komunal.
Hubungan
beliau dengan aparat negara pun dilakoni secara profesional walau tak hanya
sekali beliau dicekal. Pencekalan banyak bermula lantaran pernyataan beliau
dianggap kontroversial. Seperti ketika pengumuman aparat negara pada tahun 1984
untuk berdiam diri di rumah tak boleh menikmati gerhana Matahari total.
Pengumuman
yang menjadi cara aparat negara mengukur tingkat ketaatan rakyat ini justru
ditentang. Tak hanya menentang melalui ungkapan, beliau bahkan mempersilakan
masyarakat untuk menikmati gerhana Matahari secara gamblang. Hal ini membuat
beliau harus menjalani masa-masa sidang.
Sidang
tersebut justru akhirnya mempermalukan hakim lantaran saat itulah beliau tak
ragu menyatakan bahwa beliau lebih tahu daripada hakim yang menyidang.
“Pengetahuanmu tak ada setengahnya dariku, bahkan seperempatpun tak sampai,”
ungkap beliau ketika dimintai keterangan dalam sidang.
Ungkapan
Mbah Tur yang demikian memang arogan namun tidak sombong. “It's hard to be humble, when you're as great as I am,” kata
Cassius Marcellus Clay, Jr, petinju yang digandrungi guru keren saya, Pak
Muhammad Arifin Fanani.
Mbah Tur
beralasan bahwa peristiwa gerhana Matahari adalah kesempatan langka untuk
dinikmati bersama. Menikmati peristiwa ini tak menimbulkan bahaya. Bahkan
dengan tegas Allah menganjurkan melalui firman-Nya.
Redaksi yang
digunakan Allah dalam kitab mulia Alquran menggunakan kata ‘abshara’ yang bermakna melihat secara langsung dengan mata. Meski
tak dimungkiri pemaknaan lain yang diberikan terhadap firman ini memang ada.
Penentangan
berlandaskan pengetahuan dan keyakinan tersebut Mbah Tur wujudkan dengan
mempersilakan masyarakat untuk membuktikan. Ketika beliau berkhutbah dalam
rangka gerhana Matahari, di tengah khutbah beliau berungkap pada jamaah.
“Jika Kalian
tidak percaya, silakan buktikan! Sekarang sedang berlangsung peristiwa yang dikatakan
menakutkan. Silakan keluar dan buktikan bahwa Allah tidak menciptakan bala’
atau musibah darinya! Silakan keluar dan saksikan secara langsung!” ungkap Mbah
Tur mempersilakan.
Jamaah yang
penasaran pun berhamburan keluar untuk menyaksikan. Setelah beberapa saat,
jamaah kembali ke tempat dan terbukti ungkapan Mbah Tur tak bisa disalahkan.
Tak ada musibah yang menimpa mereka walau kemudian Mbah Tur dimintai
‘pertanggungjawaban’ oleh aparat negara.
Seperti
diungkapkan sebelumnya, beliau memiliki sikap profesional dalam melakoni keseharian
bersama. Berulangkali dicekal aparat negara tak membikin Mbah Tur memiliki
dendam pada mereka.
Ketika kebijakan
aparat negara selaras dengan nurani beliau, dengan sepenuh hati beliau
memberikan dukungan. Salah satu contohnya ialah dukungan beliau terhadap
kebijakan pencatatan nikah oleh negara.
Mbah Tur mendukung
kebijakan ini terus menerus bahkan hingga usia senja. Beliau memang dikenal
getol menentang praktik pernikahan sirri
walau sebagian kalangan menganggap hal ini sah menurut aturan agama.
Mbah Tur
berpendapat bahwa selama kebijakan aparat negara berpijak pada kemaslahatan
bersama tanpa bertentangan dengan hal mendasar dalam agama, seluruh masyarakat
harus menaatinya.
Dengan
demikian, ketika umat Islam menaatinya, berarti menaati peraturan Allah. Kosok
balinya ketika umat Islam melakukan pembangkangan terhadapnya, sama saja
melakukan kemaksiatan terhadap Allah.
![]() |
| Mbah Tur — sepanjang menggelinjang demi meniti maslahat masyarakat |




