— telantar, telantar, telantar, terlantan
“Mata yang cinta akan tumpul dari segala cela
sepertihalnya mata yang penuh amarah hanya akan memandang segala yang nista.” —
Alobatnic
Tak ada yang
saya ketahui kecuali namanya, Tan Malaka. Perkenalan saya dengan buah hati
pasangan Rasad Caniago dan Sinah Simabur ini baru kemarin sore. Baru setelah
saya bermukim di Bandung. Itupun terjadi secara virtual.
Sebutan virtual lantaran memang saya tak menangi sosok Tan Malaka semasa dia
masih melakoni keseharian di planet Bumi ini. Saat kecil, saya pernah mendengar
pemilik nama kecil Sutan Ibrahim ini. Hanya saja saat itu belum terlampau saya
perhatikan saat itu.
Baru pada
pertengahan 2013 saja sosok immortal
tersebut saya perhatikan. Tak perlu waktu lama bagi saya untuk segera
menyebutnya The Great One sesudah
melakukan follow-up dari sebuah
perkenalan virtual.
Tan Malaka
termasuk sosok yang konsisten. Konsisten memperjuangkan impian dengan prinsip
yang dianutnya serta konsisten antara kepribadian dengan peragaan keseharian.
Saya selalu
menggandrungi sosok-sosok sejenis demikian, dalam hal apapun. Antara lain
Valentino Rossi dan Paris Whitney Hilton.
Kontroversi
menyelimuti Tan Malaka tiada henti. Bahkan tempat dan tanggal lahirnya saja
memiliki ragam pendapat. Menurut pendapat paling sering ditampakkan, Tan Malaka
lahir di Pandan Gadang, Suliki, Sumatera Barat, 02 Juni 1897.
Walau kabut
kontroversi terus menggelayuti, tak ada keraguan lagi dia telah berpetualang
menempuh pengalaman yang nano-nano
rasanya: dari masa akhir Perang Dunia I, revolusi Bolsyewik, hingga Perang
Dunia II, di arena internasional.
Di arena
nasional, dia adalah sosok pertama yang menerbitkan gagasan tertulisnya mengenai
konsep Republik Indonesia. Memiliki catatan sebagai yang pertama tak akan bisa
dipecahkan oleh siapapun.
Muhammad
Jamaluddin (600-673 H) yang lebih dikenal sebagai Ibn Malik mengungkapkan hal ini. Dalam pengantar kumpulan 1002 bait
berjudul Alfiyyah dia menyebut bahwa
karyanya lebih bagus ketimbang kumpulan
bait dengan judul serupa gubahan Ibn Mu’thy.
Pernyataan
sejenis demikian kerap kali disebut sebagai sikap sombong. Sulit memang
menyampaikan sesuai kenyataan pada orang yang kurang pengalaman.
Secara
teknis Ibn Malik memang tak salah. Pola bait (bahr) yang dipakai dalam gubahannya sama semuanya, tak seperti
gubahan Ibn Mu’thy yang menggunakan dua pola secara selang-seling.
Pembahasannya
pun lebih luas dan dalam melalui penyampaian ringkas. Hanya saja, Ibn Malik
mengapresiasi gubahan Ibn Mu’thy dengan menyebutnya lebih utama lantaran
digubah dan diterbitkan lebih awal.
Jauh lebih
dulu dibanding Mohammad Hatta yang menulis Indonesia
Vrije (Indonesia Merdeka) sebagai pleidoi di depan pengadilan Belanda di
Den Haag (1928) maupun Sukarno yang menulis Menuju
Indonesia Merdeka (1933). Tajuk yang dipakai oleh Hatta dan Sukarno pun
belum mencantumkan kata ‘republik’.
Asbabul wurud penulisan Naar de Republiek Indonesia ini adalah
kekesalan Tan Malaka ketika permintaannya untuk kembali ke tanah al-Jawi (Nusantara) ditolak Gubernur
Jenderal Hindia Belanda Dick Fock. Padahal keinginannya mengabdi kepada
masyarakat begitu menggebu-gebu.
Maka di
sela-sela tugasnya sebagai agen Komintern (Komunisme Internasional) di
Tiongkok, Tan pun menulis sebuah catatan yang diberi judul Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia).
Dalam kata
pengantar, dia menulis: “Jiwa saya dari sini dapat menghubungi golongan
terpelajar (intelektuil) dari penduduk Indonesia dengan buku ini sebagai alat.”
Naar de Republiek terbit di Kanton pada April 1925. Tak jelas berapa eksemplar catatan dalam
bentuk brosur ini dicetak. Yang pasti, cuma beberapa buah yang berhasil masuk
ke Indonesia.
Tan kembali
mencetak tulisan panjang itu ketika berada di Filipina pada Desember 1925.
Cetakan kedua inilah yang kemudian menyebar luas melalui jaringan Perhimpunan
Pelajar Indonesia.
Naar de Republiek terdiri atas tiga bagian. Setiap bagian mengulas situasi politik dunia,
kondisi Indonesia, dan garis perjuangan Partai Komunis Indonesia.
Pada rincian
bagian terakhir berjudul Halilintar
Membersihkan Udara, Tan mengecam kaum terpelajar Indonesia yang menurutnya
masa bodoh dengan perjuangan kemerdekaan.
Tulisnya:
“Kepada kaum intelek kita seruhkan.... Tak terdengarkah olehmu, teriakan massa
Indonesia untuk kemerdekaan yang senantiasa menjadi semakin keras?”
Sepanjang
bertualang, selain Naar de Republiek
Indonesia, dia juga menulis Massa Actie (Aksi Massa) pada awal tahun 1926. Riak revolusi tampak sudah
‘hamil tua’ dirasakan oleh Tan Malaka.
Dari
persembunyiannya di Geylang Serai, Singapura, buru-buru Tan menulis catatan
untuk segera disampaikan. Catatan sepanjang 129 halaman tersebut sebagai upaya
yang bisa dilakukannya untuk mencegah kelahiran prematur revolusi di Indonesia.
Sialnya,
pesan berjudul Massa Actie itu
terlambat keluar dari percetakan. Pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI)
1926 sama sekali gagal menggelinjangkan kekuasaan Belanda.
Banyak
pendukung terbunuh, para pemimpin dipenjarakan, bahkan dibuang. Target Tan
Malaka memang tidak kesampaian, walakin Massa
Actie kemudian justru disambut penuh gairah oleh banyak kalangan.
Keadaan
lingkungan memang sedang panas saat itu. Gerakan perlawanan terhadap perendahan
muruah menggeliat di Jakarta, Bandung, dan Surabaya.
![]() |
Kaisar Cinta — telantar, telantar, telantar, terlantan |
Laiknya api
kecil yang bermunculan di sana-sini, Massa
Actie adalah bahan bakar yang membuatnya berkobar dengan pelajaran sejarah
ringkas akan arti sebuah imaji bernama Indonesia.
Di dalam Massa Actie, Tan membongkar kultur
takhayul yang mendarah daging di bangsa ini. Dia juga men-dedah-kan ragam macam perlakuan perendah muruah, menunjukkan arti
revolusi, serta cara mengakali kekuatan masyarakat agar bisa bermanfaat.
Massa Actie menjadi proto-type revolusi massa: desakan kuat
dari bawah untuk mendorong perubahan. “Massa aksi terjadi dari orang banyak
yang bergerak,” tulis Tan Malaka.
Tan Malaka
juga men-jlentreh-kan pentingnya
persatuan bangsa-bangsa di tanah Nusantara Raya. Hal ini terutama disampaikan
kepada sesama rakyat di negeri yang muruahnya dipandang rendah. Tan Malaka
berharap dengan sangat bahwa bangsa-bangsa yang ada di tanah Nusantara sanggup
bangkit bersama bahu-membahu menegakkan muruah.
Tak risau
dengan perbedaan bangsa, mulai bangsa Jawa, bangsa Minang, hingga bangsa Aceh,
sebagai personalitas mereka. Persatuan
bangsa-bangsa tersebut dihimpun dalam satu bendera bernama Federasi Nusantara
Raya.
Wilayahnya
mencakup seluruh wilayah Nusantara, mulai Nusantara selatan (tempat bercokolnya
Belanda), Nusantara utara (tempat bercokolnya Amerika Serikat), hingga
Nusantara di semenanjung Malaka (tempat bercokolnya Inggris).
Peta wilayah
Federasi Nusantara Raya kira-kira serupa dengan peta Federasi Majapahit. Kini
Nusantara selatan dikenal sebagai Republik Indonesia, Nusantara Utara dikenal
sebagai Republik Filipina, dan semenanjung Malaka menjadi wilayah Kerajaan
Malaysia.
“Mari kita
satukan 100.000.000 yang tertindas dan mendiami pusat strategi dan lalu lintas
seluruh benua Asia dan samuderanya,” Tan menulisnya.
Massa Actie
menginspirasi Wage Rudolf Supratman, pengompos Indonesia Raya. W.R. Supratman yang meniru alunan nada Pinda Pinda Lekka Lekka milik Willy
Derby turut memasukkan kalimat “Indonesia tanah tumpah darahku” ke dalam Indonesia Raya.
Susunan
tersebut adalah kutipan yang diadaptasi dari bagian akhir dari Massa Actie. Peniruan memang bentuk
pujian abadi paling luhur.
Pada bagian
bertajuk Khayal Seorang Revolusioner,
Tan menulis, “Di muka barisan laskar, itulah tempatmu berdiri.... Kewajiban
seorang yang tahu kewajiban putra tumpah darahnya.”
Juga dari
bagian akhir yang lain dari Massa Actie,
Tan menulis “Lindungi bendera itu dengan
bangkaimu, nyawamu, dan tulangmu. Itulah tempat yang selayaknya bagimu, seorang
putra tanah Indonesia tempat darahmu tertumpah.”
Gagasan Tan
Malaka tentang Republik Indonesia tersebar di banyak buku. Dia tak punya
kesempatan untuk menuliskannya secara rapi dan rinci.
Riak
revolusi mengharuskan petualang seperti Tan berada dalam kancah perjuangan
fisik alih-alih di belakang meja. Keadaan lingkungan memaksa perjuangannya
lebih banyak di lapangan untuk mewujudkan kemerdekaan.
Kemerdekaan
dalam benak Tan Malaka diumpamakan burung gelatik. Ketika sendirian, burung
gelatik terlihat lemah. Banyak yang mengancamnya. Ia hidup penuh ketakutan dan
dengan perasaan terancam. Serba tak bebas.
Di dahan
yang rendah, ia harus waspada terhadap kucing yang siap menerkam. Tapi dahan
yang lebih tinggi juga bukan merupakan tempat yang aman baginya. Ada elang yang
siap menyambar sang gelatik sehingga hidupnya tak merdeka.
Tapi ketika
burung gelatik berada dalam satu kerumunan besar, ia akan bebas menjarah padi di
saat sawah sedang menguning.
Burung gelatik,
yang saat sendiri terlihat ringkih, ketika bersama kerumunan bisa berubah
drastis menjadi pasukan penjarah yang rakus tiada ampun. Keringat petani selama
empat bulan terbuang sia-sia. Padinya habis disantap sekawanan gelatik.
Bagi Tan
Malaka, merdeka tidaklah seperti burung gelatik ketika sendirian maupun ketika
bersama kerumunan. Harus bebas dari ketakutan, belenggu, dan teror pemangsa.
Selain itu, merdeka bagi Tan Malaka bukan berarti bebas menjarah dan menghancurkan
bangsa lain.
Merdeka
adalah bebas dari ketakutan dan tidak menebar teror terhadap liyan. Inilah prinsip merdeka menurut
pemahaman saya terhadap pemikiran Tan Malaka.
Setelah
merdeka, bangunan Indonesia harus punya bentuk. Ketika para pejuang lain baru
berpikir tentang persatuan, atau paling jauh berpikir tentang Indonesia
merdeka, Tan Malaka sudah maju beberapa langkah memikirkan bentuk Republik
Indonesia.
Naar de Republiek Indonesia sudah ditulis di Kanton pada 1925, tiga tahun sebelum
deklarasi Sumpah Pemuda. Tan Malaka tegas bahwa bekas wilayah Hindia Belanda harus
menjadi Republik Indonesia.
Walau
begitu, republik dalam gagasan Tan Malaka tak menganut Trias Politika ala Montesquieu yang biasa diajarkan di sekolahan.
Republik versi Tan Malaka adalah sebuah negara efisien. Republik yang dikelola
oleh sebuah organisasi.
Tan Malaka
tak percaya terhadap parlemen. Bagi Tan Malaka, pembagian kekuasaan yang
terdiri atas eksekutif, legislatif, dan parlemen hanya menghasilkan kerusakan.
Pemisahan antara orang yang membuat undang-undang dan yang menjalankan aturan
menimbulkan kesenjangan antara aturan dan keseharian di lapangan.
Pelaksana di
lapangan (eksekutif) adalah pihak yang langsung berhadapan dengan permasalahan
keseharian. Eksekutif selalu dibuat repot menjalankan tugas ketika aturan
dibuat oleh orang-orang yang hanya melihat persoalan dari kejauhan (legislatif,
parlemen).
Demokrasi
dengan sistem parlemen melakukan ritual pemilihan sekali dalam 4, 5, atau 6
tahun. Dalam kurun waktu demikian lama, mereka sudah menjelma menjadi kelompok
sendiri yang sudah berpisah dari rakyat. Sedangkan kebutuhan dan pikiran rakyat
berubah-ubah.
Karena para
anggota parlemen itu tak bercampur-baur lagi dengan rakyat, seharusnya mereka
tak berhak lagi disebut sebagai wakil rakyat, meski mereka tetaplah masyarakat.
Dampaknya
adalah parlemen memiliki kemungkinan sangat besar menghasilkan kebijakan yang
hanya menguntungkan sebagian kelompok dan mengabaikan kebutuhan kelompok lain.
Bahkan mengabaikan kebutuhan bagian masyarakat yang memilih mereka sebagai wakil
di parlemen.
![]() |
Kaisar Cinta — telantar, telantar, telantar, terlantan |
Tan Malaka
menyebutkan bahwa parlemen dengan sendirinya akan tergoda untuk berselingkuh
dengan eksekutif, perusahaan, dan perbankan. Dia memandang parlemen tak lebih
dari sekadar warung tempat orang-orang adu kuat ngobrol.
Anggota parlemen
disebutnya sebagai golongan tak berguna yang harus diongkosi negara dengan
biaya tinggi. Keberadaan parlemen dalam republik yang diimpikan Tan Malaka tak
boleh ada.
Buku Soviet atau Parlemen yang ditulis pada 1922 dengan tegas memperlihatkan
pendirian ini. Sampai melampaui usia kepala empat, Tan Malaka tak banyak
berubah, kecuali dalam soal ketundukan kepada Komintern Moskow.
Karena
pendiriannya pula Tan Malaka sangat keras menentang Maklumat Wakil Presiden
Nomor X pada 16 Oktober
1945 tentang pendirian partai-partai. Sebab, partai-partai pasti bermuara di
parlemen.
Secara
singkat, perwujudan negara dalam mimpi Tan Malaka dikelola oleh sebuah
organisasi tunggal. Dalam tubuh organisasi itulah dibagi kewenangan sebagai
pelaksana, sebagai pemeriksa atau pengawas, dan sebagai badan peradilan.
Bangunan
organisasinya dari tingkat terendah sampai tingkat nasional bisa diandaikan
seperti itu. Tanpa ada pemisahan antara pembuat dan pelaksana aturan. Di dalam
organisasi yang sama pasti ada bagian pelaksana harian dan ada bagian pengawas.
Begitulah
kewenangan dibagi tanpa perlu badan yang terpisah. Untuk mengelola organisasi
agar tak menjadi tirani kekuasaan, rancangan organisasi harus dimainkan.
Ritual
pemilihan pengurus organisasi tak boleh dalam selang waktu yang terlalu lama.
Hal ini agar kepercayaan yang diberikan tak berubah menjadi kekuasaan, supaya
amanah tidak berubah menjadi serakah.
Pertemuan
organisasi (kongres, muktamar, dsb. Dst.) dari tingkat terendah sampai tingkat
tertinggi harus dilakukan dalam rentang waktu yang tak terlampau lama. Waktu
dua tahun cukup untuk mengevaluasi kerja para pengurus organisasi. Jika kerja
mereka tak memuaskan, pertemuan organisasi akan menjatuhkan mereka.
Bentuk
negara tersebut boleh saja disebut tidak demokratis. Sah-sah sajalah. Wajar
saja sudah demikian lama kita hanya di-dedah-kan
makna demokrasi yang lebih banyak mengadopsi (bukan mengadaptasi) gagasan Trias Politika ala Montesquieu.
Kalau bentuk
negara yang diimpikan Tan Malaka tak demokratis, boleh juga kita mengatakan
bahwa partai politik, organisasi kemasyarakatan, ASEAN, bahkan Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) atau United Nations
(UN) merupakan lembaga yang tak demokratis.
Buat apa bentuk
yang dipakai dipermasalahkan. Selama bentuk tersebut tak merendahkan muruah dan
tak merisak nurani, segala bentuk tak masalah digunakan.
Gagasan Tan
Malaka tampak naif dan tak bisa diikuti. Hal ini pun wajar. Namun tak ada
salahnya kita menulis ulang semangat dalam gagasan kenegaraan Tan Malaka.
Dalam Thesis yang ditulis pada 1946, Tan meminta bangsa-bangsa di
Nusantara tak menghafalkan hasil berpikir seorang guru. Yang penting adalah
cara dan semangat berpikirnya.
Laiknya
seorang pendidik matematika, Tan Malaka tak ingin menuntut siswanya menghafal
hasil sebuah perhitungan, walakin menguasai cara berpikir untuk bisa memperoleh
hasil hitungan yang disepakati secara keilmuan.
Lebih dari
20 tahun hidup Tan Malaka dihabiskan untuk bertualang ke berbagai lingkungan.
Dari agen Komintern untuk Asia di Kanton sampai menjadi free agent bagi dirinya sendiri. Dari seorang pedagog tulen dengan
jaminan finansial hingga hidup merdeka seratus persen.
Dari beragam
pengalaman yang dibeberkan dalam tulisan, Madilog adalah karya Tan Malaka paling saya gemari. Madilog, buku yang ditulisnya dalam
persembunyian dari Kempetai, intelnya
Jepang (1943), adalah warisan tertulis yang paling gereget.
Madilog merupakan
karya agung dari Tan Malaka, sejenis demikian saya menyebutnya. Isinya
menguraikan dengan luas dan dalam kritik dan saran diserta pandangannya terkait
keadaan Nusantara, khususnya Indonesia.
Dengan rapi
dan rinci Tan Malaka men-dedah-kan
pada kita ragam macam hal mulai pandangan hidup, cara berpikir, hingga dan
pilihan usulannya sebagai cara mengubah kebiasaan masyarakat Indonesia yang
cenderung minder menuju yakin diri.
Keagungan Madilog dapat dilihat dari beberapa hal:
Pertama, ketebalan
buku. Tebal sekali buku yang ditulis Tan Malaka ini. Sekitar 150 ribu kata
didayagunakan untuk mengungkapkan perasaan yang dipendam.
Kedua, buku ini
ditulis dalam sebuah bilik kecil (pondokan dari anyaman bambu) di Cililitan,
Jakarta Timur, secara malar sejak 15 Juli 1942 sampai 30 Maret 1943.
Ketiga, semua data
berupa angka, referensi, dan acuan terhadap gagasan-gagasan orang lain sebagian
besar dikutip dari luar kepala (mengandalkan daya ingat).
Hal ini
dikarenakan Tan Malaka kehilangan banyak buku selama bertualang. Sedangkan
sebagian kecil diambil dari buku-buku perpustakaan yang bisa didatanginya. Luar
biasa anugerah daya ingat berlipat yang didapatkan Tan Malaka dari Pelantan
jagad raya.
Keempat, wawasan
yang dibentangkan di dalamnya sangat luas dan dalam.
Gagasan yang
tertulis di dalamnya bebas dari segala subyektifitas sehingga dapat digunakan
untuk mempelajari apa saja dan dari siapa saja yang dianggap memiliki
keterkaitan dengan permasalahannya.
Kelima, Tan Malaka
seperti perpustakaan berjalan.
Seluruh
karya agung peradaban dunia sepanjang masa sanggup dia dedah-kan melalui Madilog.
Pen-dedah-an tersebut bukan untuk
dihafalkan, walakin dicerna secara kritis sehingga membentuk pandangan sendiri.
Keenam, keadaan dimensi
ruang dan waktu selama penulisan.
Madilog ditulis
dalam keadaan perang sehingga terkesan buru-buru agar segera selesai. Meski
demikian, terdapat usaha untuk tidak terjadi kekeliruan dalam berbagai rincian
tulisan.
![]() |
Kaisar Cinta — telantar, telantar, telantar, terlantan |
Dengan
demikian, sulit untuk meragukan kecerdasan, daya ingat, dan sikap rendah hati
Tan Malaka. Setelah selesai belajar di lembaga pendidikan formal di Belanda,
Tan Malaka tetap rajin belajar tanpa merasa sudah pintar.
Selama
bertualang, dia mempelajari seluruh karya tulis yang dianggapnya sangat
penting, mulai dari yang bersifat teoretis-filosofis, sampai yang cenderung
praktis. Dia juga memanfaatkan keterpaksaan nomaden
untuk mengamati keadaan lingkungan serta berbagi pengalaman melalui interaksi
dengan orang-orang yang dijumpai.
Oleh karena
itu, Madilog yang memakai rujukan di
luar kepala itu merupakan perwujudan kritis dari hasil belajar, keluyuran, dan ngobrol-nya yang tekun. Bukan hanya dari
membaca buku saja tanpa mau jalan-jalan dan melibatkan interaksi dengan liyan.
Madilog merupakan
kependekan dari Materialisme, Dialektika, dan Logika. Madilog adalah imbauan
dari Bapak Nusantara kepada bangsa-bangsa di tanah Nusantara agar mau keluar
dari kegelapan berpikir untuk memasuki cara berpikir yang rasional.
Tan Malaka
merasa bangsa-bangsa di wilayah Nusantara menjadi terbelakang akibat cara
berpikirnya yang terjebak dalam logika mistika. Untuk keluar dari jebakan
tersebut, diperlukan bantuan logika materialisme. Logika inilah yang menjadi
gagasan awal dari Madilog.
Logika
mistika adalah logika gaib, yang tidak mencari sebab-akibat melainkan
mengembalikan segala sesuatunya pada perbuatan roh-roh di alam gaib. Roh-roh
tersebut dianggap berada di belakang alam nyata dan memengaruhi segala kejadian
di dunia ini. Akibatnya, orang yang terjebak dengan logika mistika tersebut
sulit untuk maju.
Mereka cuek
dengan keadaan yang dihadapi dalam keseharian. Hal ini membikin mereka enggan
mencari sebab-akibat yang selalu ada menyertai mereka. Malah kemalasan ini
memiliki pledoi jitu dengan mendambakan anugerah kekuatan-kekuatan gaib yang
dianggap memengaruhi kehidupan.
Materialisme
adalah cara berpikir yang berasal dari kenyataan atau materi. Materialisme
adalah cara berpikir yang merupakan hasil dari penelitian ilmiah sehingga bisa
diuji bersama. Untuk urusan kehidupan bersama, kita tak bisa mengandalkan
naluri yang dimiliki sendiri walakin harus bisa diterima bersama oleh
seluruhnya.
Dialektika
adalah cara berpikir timbal-balik. Maksudnya semua hal bisa dipandang berbeda
hingga dua titik bertentangan tampak kentara. Orang yang tak memakai dialektika
akan menganggap dua titik itu bertentangan. Tetapi orang yang memakai
dialektika, pertentangan itu justru menjadi penggerak kemajuan.
Memakai
materialisme tidak cukup lantaran cenderung stagnan. Dialektika dibutuhkan
untuk melihat potensi-potensi yang ada pada kenyataan sehingga dapat digunakan
untuk mencapai kemajuan.
Logika
adalah aturan tentang cara berpikir yang benar. Berpikir materialis dan
dialektis tidak cukup tanpa diiringi dengan berpikir logis. Logika berguna
untuk meraih kemajuan yang pasti (real
paradise) bukan kemajuan yang semu (virtual
paradise).
Tan Malaka
menjelaskan hal tersebut seluruhnya disertai contoh penggunaannya. Madilog menampakkan dengan kentara kalau
Tan Malaka mengagumi sekaligus ikut serta menikmati peradaban di planet Bumi. Kekaguman
itu membuatnya berhasrat kuat mendalami kemudian mengerahkan segala daya dan
upaya untuk ikut serta mewarnai.
Dari
pendalamannya pada setiap bentuk warisan peradaban, dia mengambil nilai-nilai
dasarnya sebagai bahan pondasi rancangan Madilog.
Bagusnya, Tan Malaka bisa membaca keadaan bangsa Indonesia sehingga Madilog bisa tertanam subur di lahan
Indonesia.
Tiga
komunitas kaum beriman yang notabene memiliki benang merah pada sosok Ibrahim
(Abraham), bapaknya ilmu logika. Ibrahim sendiri merupakan nama yang disematkan
oleh orangtuanya sebelum lebih dikenal dengan sapaan Tan Malaka.
Madilog juga
perwujudan sintesis petualangan dari seorang Tan Malaka yang memiliki
personalitas bangsa Minangkabau. Bangsa Minangkabau identik dengan kebiasaan
merantau.
Hal ini
terjabarkan ke dalam dua poin penting pemikiran Tan Malaka demi menanamkan Madilog di lingkungan Nusantara, agar
ajaran bisa dibumikan bukan dikebumikan.
Pertama, gubahan Madilog melalui sintesis pertentangan
pemikiran di antara dua kubu aliran besar dalam filsafat, yaitu Hegel dengan
Marx-Engels.
Hegel dengan
filsafat dialektika (tesis, antitesis, dan sintesis) dengan kebenaran yang
menyeluruh (absolute idea) hanya
dapat tercapai melalui perkembangan dinamis.
Berkembang
dari taraf gerakan yang paling rendah menuju taraf gerakan yang paling tinggi.
Semua berkembang, terus-menerus, berubah tapi berhubungan satu sama lain. Semua
perkembangan difokuskan pada idea
(tak kasat mata) bukan pada matter
(kasat mata).
Sementara
itu, bagi Marx-Engels, proses dialektika ini lebih cocok diterapkan pada matter melalui revolusi perpindahan
dominasi kelas. Setiap kelas saling berpindah dari satu kelas ke kelas yang
lain sampai tercapai suatu bentuk kelas yang sebenarnya, ialah masyarakat tanpa
kelas.
Jadi matter bagi Marx-Engels lebih penting
daripada idea, kosok bali dengan
Hegel. Walau akhirnya berbeda pandangan, Marx terus menerus menyebut bahwa
Hegel adalah gurunya.
Dalam Madilog, Tan Malaka mensintesiskan kedua
pertentangan aliran filsafat ini untuk mengubah mental budaya pasif menjadi
kelas sosial baru berlandaskan sains: bebas dari alam pikiran mistis. Melalui
sains, mindset masyarakat Indonesia
harus diubah. Logika ilmiah dikedepankan dan pikiran kreatif dieksplorasi.
Semuanya
dilakoni dengan langkah dialektis dari taraf perpindahan gerakan kelas sosial
dari tingkatannya yang paling rendah sampai paling tinggi berupa kelas sosial
baru yang berwawasan Madilog. Inilah
wujud petualangan secara pemikiran karena berbagai benturan gagasan yang
terjadi.
Kedua, pandangan
budaya bangsa Minangkabau tentang konsep rantau.
Nilai
penting konsep rantau dalam budaya bangsa Minangkabau adalah mengidentifikasi
setiap penemuan baru selama merantau demi pengembangan diri. Bangsa Minangkabau
termasuk berkarakter dinamis, logis, dan antiparokial (parokial: wawasan
sempit).
Konflik
batin khas perantau ditepis Tan Malaka dengan tradisi berpikir rasional.
Tradisi ini didukung dengan basis pendidikan guru yang mengharuskannya
menanamkan cara berpikir yang logis.
Sementara
itu, merantau adalah juga mencari keselarasan dari pertentangan dan
penyesuaian. Pandangan kebudayaan bangsa Minangkabau yang umum berlaku di masa
mudanya membuatnya memahami baik dinamisme Barat maupun dinamisme alam
Minangkabau di dalam suatu cara pandang terhadap dunia yang terpisahkan.
Sebagai
sintesis hasil petualangannya, Madilog
merupakan perwujudan simbol kebebasan berpikir Tan Malaka. Madilog bukanlah dogma yang biasanya harus ditelan begitu saja tanpa
hati-hati dalam mencerna.
Menurutya,
justru kaum dogmatis yang cenderung memuja hafalan tanpa pemahaman sebagai kaum
bermental budak. Di sinilah filsafat idealisme dan materialisme ala Barat dan
konsep rantau disintesiskan Tan Malaka.
Huruf,
aksara, kata, disusunnya dalam suasana kesepian, kemiskinan, dan penderitaan
yang sangat ekstrim. Namun Madilog-lah
yang menjadi karya agung paling mahal dari seorang Tan Malaka.
Sebuah
pandangan hasil petualangan sepanjang melakoni bicycle race walau under
pressure. A kind of magic
sepanjang di tanah kelahiran, lalu di Haarlem, Nederland (1913-1919), ke
beragam tempat lain, sampai kelahiran karya agungnya itu di Rawajati (1943).
![]() |
Kaisar Cinta — telantar, telantar, telantar, terlantan |
Tak hanya
berprestasi dalam penulisan gagasan, Tan Malaka juga berprestasi dalam
menggerakkan massa di lapangan. Tak banyak orang yang bisa melakoni dua hal
ini. Ada kalanya orang yang lebih kuat dalam gagasan, tapi tak bisa
menggerakkan. Ada orang yang keren saat menggerakkan tanpa bisa memberi
gagasan.
Peristiwa
sekitar Proklamasi Republik Indonesia adalah salah satu contohnya. Tan
menorehkan perannya yang penting dalam peristiwa bersejarah untuk Republik
Indonesia ini. Dia menggerakkan para pemuda untuk ikut serta rapat raksasa di
Lapangan Ikada (kini kawasan Monas) pada 19 September 1945.
Rapat
tersebutlah yang menunjukkan dukungan pertama dari kerumunan massa terhadap
proklamasi yang waktu itu belum bergema keras dan ‘masih sebatas catatan di
atas kertas’. Tan menulis aksi itu sebagai ‘uji kekuatan untuk memisahkan kawan
dan lawan’. Setelah rapat ini, perlawanan terhadap Jepang kian berani dan
gencar.
Kehadiran
Tan di Lapangan Ikada menjadi cerita menarik tersendiri. Harry Albert Poeze,
peneliti Tan Malaka, bertahun-tahun mencari bukti kehadiran Tan itu.
Sahabat-sahabat
Tan, seperti pengetik naskah proklamasi Sayuti Melik, mantan Menteri Luar
Negeri Ahmad Soebardjo, dan mantan Wakil Presiden Adam Malik, telah memberikan
kesaksian. Tapi kesaksian tanpa bukti visual sulit diterima khalayak.
Dokumen foto
peristiwa itu tak banyak. Memang ada rekaman film dari Berita Film Indonesia.
Namun mencari seorang Tan di tengah kerumunan sekitar 200 ribu orang dari
berbagai daerah bukan perkara mudah. Poeze mengakali kesulitan ini, mengerahkan
kemampuan akalnya untuk bisa mengatasi kesulitan yang dihadapi.
Poeze mulai
menghimpun semua ciri khas Tan Malaka dengan mencari dokumen di delapan dari
sebelas negara yang pernah didatangi Tan Malaka. Dari penghimpunan itu,
didapatkan beberapa hal berkelindan dengan Tan Malaka.
Tan Malaka
selalu memakai topi perkebunan sejak melarikan diri di Filipina (1925-1927).
Dia cuma membawa paling banyak dua setel pakaian. Sejak keterlibatannya dalam
gerakan buruh di Bayah, Banten, pada
1940-an, dia selalu memakai celana selutut.
Tan Malaka
juga selalu duduk menghadap jendela setiap kali berkunjung ke sebuah rumah. Ini
untuk mengantisipasi jika penelisik Belanda, Jepang, Inggris, atau Amerika
tiba-tiba datang menggerebek tempat istirahatnya.
Tan Malaka juga
memiliki duapuluhtiga nama samaran dan telah menjelajahi dua benua dengan total
perjalanan sepanjang 89 ribu kilometer. Jarak
ini setara dengan dua kali jarak yang ditempuh Che Guevara di Amerika
Latin.
Satu lagi
ciri yang mesti dicari: berapa tinggi badan Tan Malaka? Di buku Dari Penjara ke Penjara, Tan Malaka
menuturkan bahwa dia dipotret setelah cukur rambut dalam tahanan di Hong Kong.
“Sekonyong-konyong
tiga orang memegang kuat tangan saya dan memegang jempol saya buat diambil
capnya. Semua dilakukan serobotan,” ungkap Tan Malaka.
Dari
autobiografi tersebut Poeze lalu mencari dokumen tinggi Tan dari arsip polisi
Inggris yang menahan Tan Malaka di Hong Kong. Eureka! Tinggi badan Tan Malaka ternyata 165 sentimeter, lebih
pendek daripada Soekarno (172 sentimeter).
Dari
penghimpunan ciri-ciri itu, Poeze menemukan foto Tan yang berjalan berdampingan
dengan Soekarno. Tan terbukti berada di lapangan itu. Disertai kesaksian sosok
penting dalam peristiwa itu, Tan Malaka terbukti menjadi penggerak para pemuda.
Tan Malaka
tak pernah menyerah. Hal inilah yang membuatnya sangat kecewa dengan Sukarno
dan Hatta yang memilih berunding dan kemudian ditangkap Belanda. Tan Malaka
berkukuh bahwa sebagai pemimpin pada masa perlintasan perubahan, unjuk kerja
Sukarno mengecewakan.
Sukarno
semestinya mengedepankan perlawanan gerilya ketimbang menyerah dengan menerima
perundingan sebelum mendapatkan pengakuan kemerdekaan. Bagi Tan Malaka,
perundingan hanya bisa dilakukan setelah ada pengakuan kemerdekaan Indonesia
100 persen dari Belanda dan Sekutu. Tanpa itu, nonsens, omong kosong.
Tan Malaka
tak pernah ragu mengungkapkan isi hati. Terutama ketika dia harus berada di
tengah keadaan yang merisak nurani. Sebelum melawan Sukarno, Tan Malaka pernah
melawan arus dalam kongres Komintern di Moskow pada 12 November 1922.
Di sana, dia
mengungkapkan bahwa gerakan
komunis di Indonesia tak akan berhasil mengusir kolonialisme jika tak bekerja
sama dengan Pan-Islamisme.
Tan Malaka
juga menolak rencana kelompok Prambanan menggelar pemberontakan PKI 1926/1927.
Baginya, revolusi tak dirancang berdasarkan logistik belaka, apalagi dengan
bantuan dari luar seperti Rusia, tapi pada kekuatan massa.
Saat itu
bangunan revolusi belum terbangun baik. Postur kekuatan komunis masih ringkih.
“Revolusi bukanlah sesuatu yang dikarang dalam otak,” tulis Tan Malaka. Singkatnya,
rencana pemberontakan itu tak matang.
Sikap
terbuka walau menyadari bahwa bertentangan ini tak urung membikin Tan Malaka disingkirkan liyan. Dia disingkirkan oleh para pengurus partai yang merasa
terganggu dengan kehadirannya.
Walau
demikian, Tan Malaka tak memendam dendam. Partai bukanlah segala-galanya
baginya. Jauh lebih penting dari itu: kemerdekaan yang bisa dirasakan setiap
kalangan.
Dari pementasan
sikap tersebut kita bisa membaca watak dan pandangan penulis Madilog ini. Dia seorang Marxis
sekaligus nasionalis. Dia seorang komunis dan muslim. Seperti ungkapnya, “Di depan
Tuhan saya seorang muslim”.
Tan Malaka
juga seorang hamil al-Quran dan ber-thariqah. Perhatian utamanya adalah
menutup buku kolonialisme yang telah merendahkan muruah bangsa-bangsa di
Nusantara.
Tan Malaka
adalah petualang solo serta kesepian.
Sekitar 20 tahun (1922-1942) Tan Malaka hidup dalam pembuangan tanpa didampingi
teman seperjuangan.
Beberapa
kali dia harus meringkuk di penjara negara imperialis saat berada di Filipina
dan Hong Kong, serta selama dua setengah tahun dipenjarakan tanpa pengadilan
oleh pemerintah Republik Indonesia yang telah dia cita-citakan dan perjuangkan.
Tak kalah
penting, Tan Malaka adalah single
abadi setelah kisah cintanya kandas saat remaja. Dia memilih melajang sepanjang
zaman setelah roman picisannya kandas di tengah jalan.
Ketika
hidupnya dia begitu telantar bahkan banyak dikhianati liyan. Beberapa saat setelah kematian kontroversial dan misterius
pun dia masih telantar. Malah saat penguasa Republik Indonesia berpindah tangan
dan pandangan, Tan Malaka tampak kentara sengaja ditelantarkan.
Hingga
akhirnya, ketika ‘suara dari dalam kubur’-nya menggema, Tan Malaka mulai
terlantan.
![]() |
Kaisar Cinta — telantar, telantar, telantar, terlantan |