— the special one more than a teacher and educator
![]() |
Makhluk Tuhan Paling Arogan sejak belum dilahirk an
[📷 Ulul Aries Liverpudlian tulen sejak dalam kandungan] |
Ibuk
kadang mengingatkan saya saat masih balita dulu pernah bilang begini dan
begitu. Antara lain adalah keinginan saya untuk nyantri sambil sekolah di TBS (Tasywiquth Thullab Salafiyyah) saat aliyah. Pernyataannya saat itu seperti
ini, tidak dibalik, dan sudah menyebut tingkatan. Mungkin karena Bapak cerita
tentang rekam jejak selama sekolah, saya jadi kepingin menikam jejaknya.
Sempat
hampir rusak runutan pernyataan saat balita pada 2005 ketika timbul hasrat mblenjat dengan ingin nyantri saat MTs. Lalu terjadi keraguan
hingga sempat ada grenengan untuk
sekolah di MTs desa saya saja. Akhirnya runutan pernyataan saat balita
benar-benar mewujud. Memula sekolah di MI Thoriqotus Sa’diyyah dilanjutkan di MTs
Miftahul Falah, saya akhirnya nyantri
di MUS-YQ sembari sekolah di MA TBS.
Pernyataan
ini tampak sombong, bisa jadi tak kekinian dan kedisinian. Hanya saja Pak
Muhammad Arifin Fanani, pengasuh MUS-YQ, adalah satu-satunya alasan saya di MA
TBS. Andai MUS-YQ menerima santri yang sekolah di luar TBS, lain cerita bisa
jadi. Ibuk dan Bapak me-warning saya
satu hal saja: tidak boleh dikeluarkan dari pondok. Anyway, di tempat saya, kata ‘pondok’ kalau dimutlakkan merujuk
pada ‘pesantren’, dan saya lebih suka menyebut seperti ini karena terhindar
dari huruf R.
Sebenarnya
semangat saya untuk nyantri pada tahun 2009 sudah beda dengan tahun 2005.
Tahun 2005 bisa dibilang menggebu-gebu tetapi akhirnya dilarang oleh orangtua. “Belum
cukup modal pengalaman,” ungkap Ibuk saat itu. Tapi di tahun 2009 nyaris tak
ada kemauan samasekali untuk nyantri. Bahkan melanjutkan sekolah di
madrasah pun sudah ogah. Tak cuma madrasah swasta, madrasah negeri pun sudah
tak mau.
Saya
ingin merasakan atmosfer yang berbeda. Selama di MTs, pergaulan intim saya
justru banyak dengan anak-anak SMP. Setelah sejak MI hingga MTs hanya merasakan
atmosfer madrasah saja, pada masa SMA ingin merasakan atmoesfer non-madrasah.
SMA Kuburan Kembar adalah incaran utama. Malah mungkin hanya satu-satunya. SMA
Negeri 1 Bae adalah rencana cadangan.
Alasan
‘masuk akal’ yang saya sampaikan pada orangtua dalam obrolan enam mata saat itu
adalah saya ingin fokus pada pelajaran ilmu alam, khususnya fisika. Tapi alasan
‘masuk akal’ ini akhirnya dibantah dengan argumen yang ‘masuk akal’ juga.
Orangtua mengingatkan saya kalau dulu saya pernah ngebet ingin nyantri.
Mereka berdua pun berkata kalau sudah lulus MA, saya dibolehkan untuk
melanjutkan ke perguruan tinggi negeri dan mengambil program studi fisika.
Saya
menolak keinginan orangtua saya kala itu dan membantah mereka dengan beberapa
alasan. Salah satunya saya bilang kalau saya akan kesulitan masuk perguruan
tinggi dalam program studi fisika kalau sekolah menengah atas kembali di
madrasah. Pelajaran di madrasah sangat banyak dan kurang serius memperhatikan
ilmu alam. Selama 9 tahun, saya habiskan sekolah saya di madrasah, mulai MI
sampai MTs, dan rasanya saya perlu merasakan pengalaman lain dengan tidak
bersekolah di madrasah.
Belum
ada titik temu saat itu. Lalu saya menelepon tandem marem saya pada malam hari. Bercerita seputar apa yang
terjadi pada hari itu. Dia bilang ke saya, lebih baik menuruti apa kata
orangtua saja. Selain karena mereka yang membiayai sekolah saya, juga tak baik
melawan orangtua. Saran darinya sangat berharga. Pasalnya dia adalah pelajar non-madrasah,
awalnya di SD lalu melanjut ke SMP. Sebagai penguat sekaligus penghibur, dia
bilang kalau anak MA lebih baik daripada anak SMA.
Sampai
pada detik-detik terakhir sebelum menginjakkan kaki di pesantren, saya masih
terlibat obrolan dengannya melalui telepon. Dia tampaknya tahu kalau saya sedang
tak enak menjalaninya sehingga dengan gencar menghibur saya. Tandem marem saya tersebut kerap
berperan sebagai ‘penjungkir balik’ keadaan dengan elegan. Obrolan dengannya
tak istimewa, karena semua orang melakoninya. Walau begitu, selalu ada sisi
lain yang diberikan saat terlibat bacot-bacotan.
Alhasil,
sampailah saya ke MUS-YQ pada Senin sore. Pondok pesantren yang namanya akronim
dari Ma’hadul Ulumisy Syar’iyyah Yanbu’ul Qur’an. MUS-YQ memiliki dua pengasuh,
Pak Arifin (Muhammad Arifin Fanani) dan Pak Fauzi (Hasan Fauzi). Bedanya kalau
Pak Arifin bermukim di lingkungan pesantren sedangkan Pak Fauzi bermukim di
luar pesantren. Tapi saya lebih dulu tahu dengan Pak Fauzi dan sama sekali tak
tahu menahu dengan Pak Arifin. Baru pada D-Day
Senin sore itulah saya tahu mengenai Pak Arifin.
Sowan perdana dengan orangtua saat itu
secara simbolis ‘menitipkan’ saya pada Pak Arifin. Obrolan kami cukup lama dan
kebetulan tak ada orang lain selain saya, Ibuk, Bapak, Pak Arifin, dan istri
beliau. Sialnya, dalam start tersebut orangtua saya memberitahu rekam
jejak kelam saya pada Pak Arifin. Semua rekam jejak kelam yang sebagian besar
selama MTs serta daftar sakit yang sering didera diberi tahu.
“Kalau
masih rewel tinggal dikeluarkan saja pak,” ungkap Ibuk dengan santainya.
“Asal
tak macam-macam saja di pondok ini. Hati-hati lah sama keamanan pondok,” ungkap
Pak Arifin sambil tersenyum melirik pada saya.
Saya
mencoba menduga-duga dibalik pelarangan saya nyantri pada 2006 dan
pemaksaan untuk nyantri pada 2009. Pada masa-masa sebelum 2006, sisi ‘Islamis’
saya sangat kuat. Saking kuatnya tak mau bergaul dengan orang ‘kafir’ dan ‘sesat;.
Kalau bergaul dengan mereka seringkali melahirkan ‘debat kusir’. Daripada
mengijinkan saya belajar agama dengan rinci sejak dini, orangtua justru
menyuruh saya belajar menjadi manusia dulu. Saya memperkirakan kalau 2006 saya
diijinkan nyantri sekarang saya menjadi bagian dari anak-anak ‘Islamis’.
Ciusss.
Orangtua
juga keukeuh meminta saya nyantri di MUS-YQ. Ibuk malah mengajak
taruhan kalau saya tak boleh dikeluarkan dari pondok. Padahal kalaupun saya
dikeluarkan dari MUS-YQ, tak serta merta membuat saya dikeluarkan dari MA NU
TBS. Ini tak bisa dibalik. Pilihannya sudah sangat sempit. Mungkin mereka
menyadari kalau hanya Pak Arifin saja yang mampu menggarap saya.
Pak
Arifin memiliki daya ingat berlipat dan peduli pada santrinya. Lebih jauh lagi
peduli pada semua orang. Saya sendiri merasakan ‘sentuhan’ hangat orang yang
sudah diberi tahu rekam jejak kelam saya sejak debut pertemuan kami. Beliau juga
mendidik saya bagaimana cara memilih guru. Ini hal yang krusial lantaran salah
memilih guru bisa berakibat fatal.
Salah
satu contoh bagus dalam menggambarkan kepedulian beliau adalah ketika saya
tertidur pulas di luar kamar pada malam hari. Beliau memiliki kebiasaan kalau
tengah malam bersih diri. Hujan yang tiba-tiba turun dengan derasnya tak bisa
membangunkan saya. Dengan tampak memaksa beliau membangunkan saya yang sudah
berselimut hangat dan meminta saya pindah ke kamar.
“Kamu
tuh gampang sakit, jangan tidur di luar lagi,” kata beliau ketika mata
saya masih remang-ramang.
Di
luar itu masih banyak lagi hingga officially
saya meninggalkan MUS-YQ. Meninggalkan MUS-YQ dalam ruang untuk pindah tempat
sebagai usaha untuk bisa berkembang. Setelah melalui masa-masa nyantri
di MUS-YQ, akhirnya saya bersama orangtua sowan untuk ‘pamitan’. Dan
dalam resepsi perpisahan ini beliau mengeluarkan pernyataan yang sangat lucu
bagi saya.
Ketika
ada anak yang akan meminta tanda tangan beliau untuk melengkapi surat
pernyataan terakhir, beliau bilang sambil tersenyum ke arah saya, “Lihat tuh
kakak kelasmu yang 3 tahun di sini tak pernah di-ta’zir.” Untung
pernyataannya tidak pernah di-ta’zir, bukan tidak pernah melanggar.
Kalau pernyataan kedua yang dikeluarkan, jelas merupakan pembohongan sejarah.