![]() |
Salah
satu foto bersama Pak Zaini Sirojan
[Diambil
oleh Eva di rumah beliau Sabtu 17 Juli 2015 17:35]
|
Keberadaan
guru selalu menjadi fondasi dalam kegiatan belajar saya. Selalu harus ada guru
meski tidak secara formal. Saya perlu ada pembimbing yang sudah matang dengan
bidangnya dan cocok dengan diri saya serta bisa menjadi pendidik pribadi saya.
10 Juli
2000, dengan keadaan badan yang masih belum sembuh total dari kecelakaan, saya
memula sekolah di MI Thoriqotus Sa’diyyah. Sejak hari pertama di sana, saya
segera berjumpa Pak Zaini Sirojan. Saat itu beliau sudah lama menjadi guru di
sekolah tersebut.
Satu
perjumpaan yang kemudian menjadi perlintasan penting bagi saya. Sampai sekarang
interaksi kami terus bertahan bahkan beliau masih rajin membimbing saya.
Padahal beliau sudah berpisah dari sekolah dengan saya ketika pensiun pada Agustus
2003 silam.
Sesudah
berpisah dengan Pak Zaini, mendadak saya tumbuh menjadi anak nakal. Perlahan
malar saya mulai membikin banyak ulah. Bahkan saat masih kelas 3 itu, saya tak
hanya sekali dipanggil ke kantor, mendapat peringatan serta bimbingan.
Salah
satunya ketika melibatkan teman saya. Kami berdua dipanggil seperti biasa saya
lakukan sebelumnya. Teman saya yang saya ajak nakal, sempat menangis di kantor,
sedangkan saya tidak. Dari sini saya mulai ditandai sebagai siswa nakal.
Pak
Zaini memang bukan guru pertama bagi saya, bahkan dengan menyempitkan arti guru
sekalipun. Setelah orangtua, guru dalam arti pendidik di lembaga pendidikan,
adalah guru TPQ Nurul Ulum. Dalam arti luas, guru adalah orang yang memengaruhi
diri saya, bagaimanapaun hubungan pribadi saya dengannya. Tetapi, Pak Zaini
adalah The Great One bagi saya.
Kelihaian
dalam mendidik kami, saya dan teman-teman, luar biasa. Siapa pun yang pernah
merasakan sentuhan Pak Zaini, rasanya sepakat jika beliau adalah guru yang
hebat. Guru yang bukan hanya mengajarkan pelajaran sesuai cakupan dan batasan kurikulum,
walakin ikut serta memantik keberanian kami dalam berekspresi.
Saya
masih ingat ketika mau pulang, beliau selalu mengajak siswa-siswa bernyanyi.
Kadang lagu hiburan, tak jarang pula lagu wajib kebangsaan. Sound track favorit
yang menjadi ciri khas beliau adalah lagu Kucingku Telu. Liriknya
sebagai berikut:
kucingku telu
kabeh lemu-lemu
seng siji klawu
seng loro klabang
meong-meong tak pakani lonthong
atiku seneng, koncoku ndomblong
Lagu
yang membuat kami, saya dan teman-teman sekelas, selalu riang ketika pulang
sekolah. Kebetulan juga saya suka dengan kucing. Oleh Arul (Fachrul Harri
Wibowo), bagian terakhir diaransir menjadi, “Udelku
bolong”.
Berani
berekspresi menjadi satu hal yang harusnya dimiliki setiap manusia, bahkan
selayaknya dilatihkan pada masa balita. Keberanian berekspresi memberi semangat
agar tak ragu mengungkap isi hati dengan penuh rasa yakin diri agar tak merasa
rendah diri ketika terlibat pergaulan dengan liyan.
Yakin
diri bukanlah sikap arogansi, malahan sebaliknya, sikap menyadari bahwa
memiliki kelebihan sekaligus kekurangan. Hal ini membuat orang memahami batasan
yang dimiliki sehingga dia bisa bertenggang rasa sekaligus bertoleransi.
Tenggang rasa adalah cara diri sendiri menjaga
perasaan orang lain terhadap perbuatan diri sendiri. Orang yang
tenggang rasanya tinggi biasanya selalu hati-hati dalam berbuat. Toleransi
adalah cara menjaga perasaan diri sendiri terhadap perbuatan orang lain. Orang
yang toleransinya tinggi biasanya adalah orang yang pemaaf.
Dua hal tersebut
tak bisa dipisahkan, tak bisa saling diunggulkan salah satu, dan
keduanya harus senantiasa dipupuk. Terlalu toleran bisa menjadi serba
membolehkan dan tak punya rasa toleran bisa menjadi fanatik. Sedangkan terlalu
tenggang rasa bisa menjadikan takut bertindak dan tak punya tenggang rasa
melahirkan sikap tak peduli.
Dua sikap tersebut
terus menerus diupayakan
tertanam dalam benak
kami, anak asuh Pak Zaini. Tak peduli saat itu sekolah kami masih dibilang sekolah kampungan oleh beberapa orang. Apalagi
bangunan gedung sekolah masih kalah kelas dengan tetangga sebelah, SDN 1 Colo.
Tak hanya gedung sekolah, pengelolaan pun memang bisa
terbilang kampungan. Selama di kelas satu, setiap hari
hanya Pak Zaini yang mengajar kami. Semua mata pelajaran di-handle oleh beliau. Barulah saat saya
kelas 2, Pak Zaini dibantu oleh Pak Kusmin. Pak Kusmin mengajar mata pelajaran Aqidah
& Akhlak setiap Kamis.
Walau
selalu bertemu seorang guru setiap hari, kelihaian Pak Zaini dalam mengambil
hati membuat kami semua tak pernah bosan terhadap beliau, justru kami merindukan
selalu. Saya dan teman-teman merasakan kesedihan yang mendalam ketika beliau
pergi dari sekolah kami.
Tepatnya
saat Agustus 2003, awal-awal saya kelas 3. Setelah kepergian Pak Zaini, beliau
sempat datang ke sekolah, bukan untuk mengajar tentunya. Pada saat itu, saya
dan teman-teman langsung berhamburan ke luar kelas dan meneriakkan
nama-namanya.
Pak Zaini dengan telaten menuntun
kami belajar membaca, menulis, dan berhitung mulai dari nol. Sebagian besar
dari kami ketika masuk sekolah memang benar-benar
buta huruf, juga angka.
Pak
Zaini tak hanya membuat kami melek huruf dan angka tetapi juga memompa semangat
belajar kami. Juga memberikan
teladan tata krama dan sikap beragama yang baik, benar, dan indah.
Ketelatenan
membuat beliau sangat keras dalam menghukum kami. Sedikit saja kami berbuat
melanggar aturan, akan kena cambuk dari beliau. Cambuk dari bambu yang telah di
buat sedemikian rupa ini sangat sakit jika dihentakkan pada kami. Sebagai siswa
bandel pun saya tak pernah absen mendapat ‘sentuhan’ cambuknya.
Disiplin
tingkat tinggi beliau tegakkan. Tak hanya memberi contoh datang, pulang, dan
istirahat tepat waktu, juga dengan menghukum yang telat. Hukuman bagi yang
telat, berdiri di depan kelas.
Ketika
mendapatkan hukuman, kami selalu merasa malu. Maklum, anak-anak, ketika ada
teman yang di hukum, yang lain menertawakan. Merasa malu saat melakukan
perbuatan tabu itulah hukuman paling berat sebenarnya.
Pak
Zaini memang guru yang tangguh. Beliau masih sanggup jalan kaki ketika pulang
dari mengajar, kalau tak dijemput sang anak. Padahal jarak rumah beliau dan
sekolah sangat jauh, dua kali lipat dari jarak sekolah dan rumah saya. Pada
saat itu juga, beliau sudah sangat tua.
Salah
satu kisah tak terlupakan bersama Pak Zaini adalah ketika pulang sekolah pada hari
Ahad saat saya kelas 2. Masih bisa diingat karena jam masuknya jam 10 pagi dan
pulang jam 1 siang.
Gedung
sekolah tak memadai sehingga ada empat kelas yang harus berbagi ruangan. Satu
ruangan untuk kelas 1 dan kelas 2, masing-masing dibagi dua shift. Satu
ruangan lagi untuk kelas 3 dan 4, dengan shift yang sama tetapi disekat
triplek (kayu lapis) sebagai pemisah.
Karena
saya sekolah di madrasah yang liburnya hari Jumu’ah,
hari Ahad kami tetap masuk. Pada hari-hari tertentu, jalanan di tempat saya
macet. Maklum, sebagai tempat wisata yang memiliki daya tarik religi dan alam,
terminal parkir dan jalan menuju ke sana kurang lebar. Otomatis kalau sedang
ramai, kendaraan tak tertampung di terminal hingga tumpah ke jalanan.
Karena
ramai juga, Bapak tak sempat menjemput saya. Selain sedang ngojeg
tentunya, juga tak bisa lewat. Ibuk yang jualan di rumah pun tak bisa
menjemput. Seperti biasa, akhirnya jalan kaki pulang ke rumah.
Keadaan
jalan yang tak memungkinkan juga membuat Pak Zaini tak dijemput sang anak.
Teman jalan kaki ketika pulang adalah Sisca (Sisca Rahmawati). Sayang Sisca pulang
lebih dulu. Akhirnya saya dan Pak Zaini jalan kaki bersama.
Dalam
perjalanan pulang itu, sangat saya rasakan kasih sayang beliau terhadap saya.
Tentu bukan hanya terhadap diri saya, tetapi terhadap semua siswa beliau.
Kebetulan saja hari itu adalah saya yang bersama beliau.
Dari
sekolah, beliau terus menuntun tangan kanan saya. Posisi jalan kami, Pak Zaini
lebih dekat ke arah jalan. Posisi ini untuk melindungi dari himpitan orang yang
lewat. Badan mungil saya dituntun erat-erat, erat sekali hingga sulit
melepaskan diri.
Beberapa
menit dari sekolah, rumah saya semakin dekat. Tanpa bilang ba-bi-bu, saya nyelenong saja melepaskan tangan dari Pak
Zaini. Tanpa pamitan, saya langsung menyeberang jalan karena sudah sangat dekat
dengan rumah dan tak perlu dituntun lagi.
Tempat
berpisah ini di depan rumahnya Bu Tri, guru SDN 2 Colo. Hanya beberapa puluh
meter dari rumah dan sudah masuk wilayah satu RT dengan rumah saya. Sudah wajar
bukan kalau saya memisahkan diri?
Kaget
saya tiba-tiba lepas dari genggaman tangan beliau, Pak Zaini berteriak-teriak
memanggil saya. Beliau kebingungan mencari saya, bocah mungil di tengah
himpitan banyak orang. Saya yang mendengar teriakan nama saya langsung menjawab
seruan beliau.
Pak
Zaini kemudian berhenti sejenak setelah melihat saya memandang ke arahnya
sambil melambai-lambaikan tangan. Kemudian beliau yang saat itu terpisah
beberapa langkah dengan saya, mempercepat laju kaki mendekati saya dan meraih
tangan saya kembali.
Pegangan
kali ini semakin erat sambil sedikit marah karena tanpa seijin beliau saya
memisahkan diri sendiri. Tak ada kata-kata membantah yang keluar dari mulut
saya. Tak enak mungkin, takut dimarahi juga barangkali.
Saya
tahu beliau marah karena kawatir terhadap keselamatan saya. Tangan saya tetap
dipegang erat hingga akhirnya sampai di depan rumah Pak Wiyono, beberapa meter
dari tempat berpisah tadi.
Dari itu
kemudian saya dilepas untuk melanjutkan jalan beberapa meter sebelum sampai
rumah. Setelah dilepas pun Pak Zaini masih terus memandangi saya, mungkin untuk
memastikan saya selamat. Saya bisa tahu hal ini karena masih mencuri pandang menoleh
ke belakang.
Secara
pribadi, belum pernah menemui guru lain seperti Pak Zaini. Guru yang
benar-benar mendidik siswanya dengan penuh kasih sayang dan kesabaran. Hukuman sabetan dari bambu yang Pak Zaini
lakukan memang bisa disebut kekerasan tetapi tak bisa disebut kekejaman.
Saya
tak pernah merasa bermasalah dengan sikap keras, yang tak saya suka adalah kejam.
Orang bisa saja keras tanpa kejam sepertihalnya orang bisa kejam tanpa tampak keras.
Selagi tidak melukai nurani dan tak membikin muruah menjadi rendah, untuk apa
dianggap masalah?
Lagipula,
Pak Zaini bisa memukul dengan keras tetapi tak membuat cedera. Juga tak pernah
memukul bagian kepala dan bagian vital lainnya. Masih berada pada wilayah yang
aman.
Kemarahan
Pak Zaini tak pernah membuat saya membencinya, karena Pak Zaini hanya marah
ketika saya berbuat salah. Toh Pak Zaini tak jarang memberikan pujian pada saya
ketika saya selesai mencatat lebih dulu daripada teman-teman serta anugerah
daya ingat berlipat yang membikin saya tak mudah lupa.
Output hasil olahan Pak Zaini benar-benar
berkualitas. Sekalipun kehidupan siswa-siswa beliau biasa-biasa saja, paling
tidak Pak Zaini telah membuat siswa-siswa beliau mengenal dirinya sendiri.
Setiap
lebaran bersama teman-teman, saya selalu mengunjunginya. Dua tahun terakhir
selalu bersama Eva (Eva Widiastutiningrum) dan Ari (Ari Jumrotun) . Sebelumnya
selalu bersama Mamad (Ahmad Fuad Ria Sahana).
Saat
sudah berusia kepala dua, memang ada sumbatan untuk mendapat irisan waktu.
Apalagi saat awal lebaran, agenda pribadi sudah begitu padat. Kita harus memaklum
segala perubahan yang merupakan keniscayaan.
Meskipun
sudah tua dan tak mengajar lagi di sekolah, tetapi obrolan di hari lebaran bukan
obrolan basi. Obrolan tak hanya seputar kelanjutan kehidupan saya tetapi sambil
diselingi pendapat beliau terhadap beberapa hal, khususnya pendidikan.
Pak
Zaini termasuk perokok berat. Beliau baru beberapa waktu saja berhenti menikmati
rokok. Itupun tanpa ada garansi berhenti seterusnya. Walau begitu, beliau
santun saat merokok. Beliau tak merokok di sembarang tempat sehingga tak
merisaukan liyan dan lingkungan.
Berkesempatan
mendapat sentuhan Pak Zaini adalah satu keberuntungan tersendiri bagi saya.
Beliau termasuk ke dalam jajaran utama pembawa Kirana bagi saya. Dalam temaram,
beliau lebih cepat dan mudah teringat. Ingatan yang segera membikin saya tak
kabur dari rasa syukur.