— hold it against me until it's gone
إِذْ أَوَى الْفِتْيَةُ إِلَى الْكَهْفِ فَقَالُوا رَبَّنَا آتِنَا مِن لَّدُنكَ رَحْمَةً وَهَيِّئْ لَنَا مِنْ أَمْرِنَا رَشَدًا ۞ [القرآن الكريم سورة الكهف : ١٠]
Manusia
adalah makhluk berperasaan, sehingga rasa bagi manusia menjadi landasan yang
kuat. Ketika ada seseorang yang memiliki satu set badan lengkap tanpa dapat merasakan rasanya sendiri, apalagi
rasa manusia lainnya, dia seakan robot.
Robot memang
bisa dirancang memiliki kepintaran melebihi kepintaran para perancangnya. Hanya
saja, robot belum bisa dirancang untuk memiliki rasa.
Segala benda
maupun peristiwa yang memberikan manfaat pada rasa manusia pasti berguna bagi
keberlangsungan keseharian ummat
manusia. Rasa kasih sayang misalnya, sanggup membawa kita pada rasa sama hingga
segala yang dilakukan memberikan kegembiraan.
Sama-sama merasakan
adanya kesamaan, kesetaraan, maupun keserupaan rasa antara dia sendiri dengan
seluruh ciptaan Pelantan. Rasa kasih sayang menahan kita untuk tak melakukan
segala hal yang merisak rasa liyan.
Rasa inilah
yang dengan lemah lembut menghantam hingga sukma terdalam yang, ketika sudah
tersentuh, bisa membikin segala rasa yang tertuang menjadi terkenang. Saling
mengapresiasi kesamaan sekaligus menghormati ketidaksamaan berpadu dengan
semangat untuk saling memuliakan dan melantan muruah liyan.
Rasa sama membuat
manusia terikat dengan liyan dan lingkungan sehingga segala yang
dilakoni tak merisak nurani. Kosok bali dari rasa beda yang merasa berbeda,
baik rasa lebih tinggi maupun lebih rendah, dari liyan. Rasa beda rentan
memantik gairah pertikaian maupun ketidakpedulian yang membuahkan perilaku
meresahkan.
Tak jarang
dalam beberapa pilihan manusia merasa memiliki satu kesamaan pilihan antara
dirinya dengan manusia lainnya. Dalam keseharian yang penuh dengan pilihan,
satu kesamaan merupakan satu titik temu jitu untuk menciptakan keharmonisan.
Tak
dimungkiri, dalam beberapa hal lainnya memang ada ragam macam ketidaksamaan.
Jika ada satu titik yang mengharmoniskan untuk apa mempermasalahkan titik-titik
lain yang menceraikan?
Sebagai
makhluk berperasaan, berungkap rasa merupakan pementasan yang wajar dilakukan
dalam keseharian. Entah ungkap rasa melalui gambar, rupa, nada, gerakan,
tulisan, dsb. dst. termasuk bergeming. Ungkap rasa yang disertai rasa sama
membuat manusia saling mengapresiasi dan menghormati setiap pilihan keseharian
yang dijalani.
Segala
ungkap rasa yang yang bisa menggembirakan rasa ataupun menjadi sarana melepas
rasa lara menimbulkan kekaguman pada pengungkap rasa. Kekaguman membikin manusia
yang dikagumi mewujud sebagai panutan.
Semua orang
tentu memiliki panutan. Mulai orangtuanya, keluarga, tetangga, the battle-mate, guru, teman, hingga
sosok lainnya termasuk sosok yang dikenal sebagai public figure.
Panutan,
baik seorangan atau sekerumunan, memberi semangat terhadap langkah yang
dijalani dalam melakoni keseharian. Panutan memiliki peran psikis, yang dapat
memengaruhi pandangan (cara, sudut, dan jarak) terhadap sesuatu bahkan bisa
memengaruhi seseorang sepenuhnya.
Seorang
panutan biasanya menjelma sebagai sosok agung bagi pengagumnya. Sosok yang
memiliki daya dorong luar biasa hingga sanggup membawa batin pengagumnya larut
terhadap beberapa perkara. Saking hanyut batin itu sampai pementasan perilaku
keseharian tak bisa dirunut dengan nalar biasa.
Setiap
manusia layak menjadi panutan. Entah manusia tersebut dipandang sebagai sosok
besar karena banyak orang juga mengaguminya atau dipandang sebagai sosok kecil
karena sedikit orang yang mengenalnya.
Sepanjang
orang menampilkan kesungguhan dalam menjalani keseharian, pasti ada orang yang
menjadikannya sebagai panutan, meski diam-diam. Sebagai seorang manusia biasa
yang tak istimewa, saya juga memiliki panutan. Panutan saya adalah semua makhluk
Tuhan, meski sebagian lebih cepat disebutkan.
Karena
itu saya selalu enggan untuk menyebut bahwa saya ini menjadi diri sendiri. I’m not myself as well as I’m not mine. Dengan
beragam panutan yang saya ikuti, tentu banyak perkara larut mewujud sebagai
pengaruh dalam diri saya.
Saya
baru mau menyebut menjadi diri sendiri yang memiliki diri sendiri kalau sudah bisa
membuang seluruh pengaruh itu, termasuk air susu Ibuk yang pernah saya mimik sejak lahir sampai pukul 21:00 14 Juni 1999, soal menit nego.
Diantara
banyaknya pengaruh itu, the battle-mate
saya adalah manusia yang harus di-reken.
Pengaruh dari mereka tetap ada, meski dalam bentuk berlawanan tak selaras
seperti yang mereka berikan.
Bisa
jadi seorang the battle-mate saya
mengenalkan saya pada Girls’ Generation namun saya akhirnya menjadi penggemar
2NE1. Bagi saya, rekaman semacam ini adalah salah satu bentuk pengaruh meski tak
selaras.
The battle-mate saya kerap dipandang sebagai sosok biasa saja sehingga tak pantas untuk dikagumi.
Memang tak ada yang istimewa dari mereka.
Mereka butuh makan, minum, maupun tidur.
Mereka juga bisa berpeluh lelah, berkeluh kesah, merasa bad mood, gugup, dsb. dst. termasuk mengagumi sosok lainnya.
Meski
begitu, mereka tetaplah tak
salah menjadi sosok yang saya kagumi. Bukankah
salah satu perkara yang membuat persembahan
dari surga Muhammad shallallahu’alaihiwasallam
asyik dikagumi adalah karena dirinya mementaskan keseharian sepertihalnya
manusia biasa?
Sebagai
seorang nabi sekaligus rasul, Muhammad jelas manusia istimewa.
Walau begitu kekaguman saya pada Muhammad lebih banyak terletak pada pementasan
kesehariannya yang wajar-wajar saja dalam posisinya sebagai nabi sekaligus rasul yang menerima buku mulia bernama al-Quran.
Badan
Muhammad masih mengucurkan darah saat dirinya dilempar batu. Padahal, bisa saja
Muhammad meminta dilindungi dengan kekebalan terhadap serangan yang ditujukan.
Sebagai suami, Muhammad juga bisa kesulitan mengendalikan Queen Aisha, istrinya yang memang paling mbeling. Sebagai pemimpin pasukan, Muhammad pun masih bisa
kecolongan dengan rusaknya garis koordinasi saat perang Uhud, Maret 652.
The battle-mate saya mungkin tak akan memiliki rekam
jejak menawan dalam pencapaian seperti yang dicapai Muhammad. Tak masalah bagi
saya. Tanpa melihat pencapaian, perjalanan
mereka merupakan satu sisi megah tersendiri yang layak
dikagumi.
Perjalanan
yang tak selalu disertai keinginan melawan arus. Tak jarang the battle-mate saya mengikuti arus. Mereka
hanya mengikuti nurani saja, yang ada kalanya tampak mengikuti arus, bisa juga
melawan arus, atau membuka arus baru.
The battle-mate saya hanya mengikuti nurani tanpa
ada pencapaian yang dicari. Mereka mentas tanpa mencari pencapaian namun tak lelah mengayuh perjalanan. Di-reken sukses atau tidak dalam pencapaian
bukan urusan, yang merupakan kesukesannya hanyalah tak lelah mengayuh secara
terus-menerus.
Mengayuh...
mengayuh... mengayuh perjalanan... saling mengapresiasi kesamaan dan
menghormati ketidaksamaan... “You say God
give me a choice...” seperti lantun Queen dalam Bicycle Race.
Mereka tak
lelah mengayuh perjalanan untuk, antara lain, mewujudkan lingkungan kebersamaan yang
harmonis. Lingkungan yang membuat orang-orang yang terlibat dalam kebersamaan
itu merasa aman dan nyaman saat saling menyapa.
Tak ada kesungkanan
maupun keraguan untuk menyapa karena masing-masing memiliki rasa sama sebagai manusia, manusia biasa yang
tak istimewa. Rekam jejak yang patut
diapresiasi. Saling menyapa adalah satu cara jitu untuk merawat titik temu
antar sesama.
Master Mister Immortal Commander Muhammad [محمد] shallallahu'alaihiwasallam,
sang kirana azalea, bertutur bahwa menyapa adalah senjata manusia beriman
[الدعاء سلاح المؤمن]. Satu pernyataan yang diabadikan oleh Madonna Louise
Veronica Ciccone melalui Like
a Prayer.
Saling
menyapa membuat manusia bisa mulai terlibat obrolan. Entah obrolan yang
dianggap serius maupun yang dipandang picisan. Obrolan apapun bisa ikut serta
memperkaya ketika pandangan selaras serta memberi warna lain tersendiri saat
pandangan berbeda maupun saling berlawanan.
Terlibat
obrolan merupakan salah satu cara untuk tak mem-‘benda’-kan akal. Sang Pencipta
menganugerahkan akal pada manusia bukan hanya sebagai property belaka
melainkan untuk di-‘pekerja’-kan terus menerus.
Rasanya wajar
kalau akal tak sekalipun dimunculkan sebagai kata benda [اسم] di dalam al-Quran
namun berulang kali dimunculkan dalam bentuk kata kerja [فعل]. Rasanya wajar
juga kalau perintah belajar dan membangun lingkungan dituturkan dalam bentuk
kata kerja present dan future [الفعل المضارع], bukan kata kerja past
[الفعل الماضي]:
وَمَا كَانَ
ٱلْمُؤْمِنُونَ لِيَنفِرُوا۟ كَآفَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِن كُلِّ فِرْقَةٍ
مِّنْهُمْ طَآئِفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُوا۟
فِى ٱلدِّينِ وَلِيُنذِرُوا۟ قَوْمَهُمْ
إِذَا رَجَعُوٓا۟ إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ ۞ [القرآن الكريم سورة
التوبة : ١٢٢]
Agar tak mangkrak di situ melulu. Supaya bisa terus bertumbuhkembang sebagai manusia
seutuhnya. Al-Quran menggunakan tiga kata yang sama-sama bertutur tentang
manusia, ialah al-basyar [البشر], al-insan [الإنسان], dan an-naas [الناس].
Walau sama
arah penuturannya, terdapat perbedaan kaitan dan penekanan ketika al-Quran
menyebut sebagai al-basyar, al-insan, maupun an-naas. Al-basyar dan al-insan merujuk pada manusia secara
personal. Bedanya kalau al-basyar
melihat sisi kasat mata sedangkan al-insan
melihat sisi tak kasat mata. Sementara an-naas
merujuk pada manusia secara komunal.
Saling
menyapa pula yang membuat mereka menjadi guru bagi saya. Manusia yang rekam
jejaknya layak di-tiru
(menginspirasi) dan pernyataannya pantas di-gugu
(memotivasi). Saya adalah murid mereka, ialah
manusia yang berkehendak terhadap segala yang dipentaskan oleh mereka.
Berkehendak untuk meniru maupun mengacuhkan diri mereka sepanjang
menggelinjang.
The battle-mate saya terus menginspirasi agar tak lelah mengayuh perjalanan sekaligus terus memotivasi
untuk untuk selalu berserah pada Allah [الإسلام]. Salah satu
wujud keberserahan adalah selalu rela dengan takdir terburuk dari Allah.
Kerelaan
pada takdir terburuk dari Allah merupakan upaya menghindari amarah dan tak
kabur dari rasa syukur. Pasalnya amarah
cenderung menggiring mata untuk memandang segala yang nista.
Segala
peristiwa yang dialami harus rela diterima. Segala peristiwa yang dialami
merupakan wujud kekuasaan Ilah [إله] dan kasihsayang Rabbi
[رب]. Ilah dan Rabbi adalah dua kata serupa yang berbeda penekanannya.
Ketika
berkaitan dengan Ilah, penekanannya
terletak pada sisi masculinine. Sementara ketika berkaitan dengan Rabbi, letak penekanan pada sisi femininine.
Wajar jika Rabbi tampak seperti seorang yang sedang menimang bayi
sedangkan Ilah seperti seorang yang berdiri tegak ketika dituliskan
dalam bahasa al-Quran.
Dengan terus
berserah pada Allah, manusia mampu mengendalikan diri bebas dari segala ungkap
rasa yang dialamatkan padanya. Tak melayang dengan pujian sebagai bentuk ungkap
rasa cinta serta tak tumbang oleh cacian yang merupakan bentuk ungkap rasa
benci. Sehingga mampu menjalani keseharian biasa saja menuju Allah (Jawa: ngalah).
Manusia
diciptakan dari Allah dan menuju (Jawa: ngo)
ke Allah (Jawa: Alah). Bukan kembali
karena kembali tak dimungkinkan secara waktu. Dalam waktu, pergerakan tak bisa
dilakukan mundur namun terus maju. Karena posisi awal dan akhirnya sama, maka
tidak terjadi perpindahan. Tidak terjadi perpindahan bukan berarti tidak
menempuh perjalanan.
Pandangan
fisika menuturkan bahwa jarak tempuh sejauh apapun ketika posisi akhir sama
dengan posisi awalnya, dapat disebut tidak terjadi perpindahan. Seluruh ciptaan
Ilahi-Rabbi tak bisa lepas atas pola
mengikuti serta berada dalam batas kelangsungan ‘dari’ ke ‘menuju’ dan
berpuncak membentuk lingkaran [إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ].
Entah
lingkaran itu tersusun atas lurusan-lurusan atau lurusan-lurusan yang membentuk
lingkaran, tak jelas. Sama tak jelasnya dengan segala peristiwa yang dialami.
Tak jelas peristiwa itu memberi rasa suka atau duka karena ukuran suka dan duka
tergantung suasana yang sedang dirasa. Yang jelas, segala peristiwa harus rela
diterima.
Dengan rela
menerima segala penataan pagelaran Pelantan [رَاضِيَةً], sembah rasa cinta pada
Ilahi-Rabbi bisa terus menggelora. Gelora sembah rasa yang membuat
manusia tak lelah menyapa Allah agar dianugerahi setitik Cinta dari-Nya
[مَرْضِيَّةً].
Setitik
Cinta yang bisa menjadikan makhluk berperasaan berjumpa Pencipta dengan sapaan
mesra:
يَا
أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ ارْجِعِي إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَّةً فَادْخُلِي فِي
عِبَادِي وَادْخُلِي جَنَّتِي ۞ [القرآن الكريم سورة الفجر : ٢٧ - ٣١]
Sapaan mesra
yang membuat surga dan neraka tak lagi menjadi perkara penting. Sebab yang
paling penting adalah berada dalam keadaan sepenuhnya terserap ‘hilang’ menjadi
bagian Kirana, ‘satu perkara’ yang tak memiliki massa dan usia.
Kirana
menjadi ‘satu perkara’ yang memperlihatkan batas keberlakuan ilmu fisika. Pandangan
fisika menuturkan bahwa segala yang ada di semesta ini lambat laun akan hancur,
sedangkan Kirana selalu ada.
Satu-satunya
cara semesta agar tidak hancur hanyalah manunggal
dengan Kirana, yang dituturkan bahwa:
اللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۚ مَثَلُ نُورِهِ كَمِشْكَاةٍ فِيهَا مِصْبَاحٌ ۖ الْمِصْبَاحُ فِي زُجَاجَةٍ
ۖ الزُّجَاجَةُ كَأَنَّهَا كَوْكَبٌ دُرِّيٌّ يُوقَدُ مِنْ شَجَرَةٍ مُبَارَكَةٍ
زَيْتُونَةٍ لَا شَرْقِيَّةٍ وَلَا غَرْبِيَّةٍ يَكَادُ زَيْتُهَا يُضِيءُ وَلَوْ
لَمْ تَمْسَسْهُ نَارٌ ۚ نُورٌ عَلَىٰ نُورٍ ۗ يَهْدِي اللَّهُ لِنُورِهِ مَنْ
يَشَاءُ ۚ وَيَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ ۗ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ
عَلِيمٌ ۞ [القرآن الكريم سورة النّور : ٣٥]
Karena the battle-mate saya adalah manusia
biasa, maka tak sulit bagi saya dan manusia lainnya untuk menikam rekam jejak
yang telah dijalani oleh mereka. Tak harus menikam rekam jejaknya dengan jalan,
arah, dan langkah yang sama, walakin bisa dengan mengikuti semangatnya untuk tak
lelah mengayuh perjalanan.
Mereka tetap tak lelah mengayuh
perjalanan dengan kemungkinan dan ketidakmungkinan yang hadir sekaligus.
Perjalanan yang mereka lakoni adalah paduan ikhtiar
dan takdir. Sebagian orang boleh saja
memandang mereka dengan cemar dan rajin mencibir. Meski demikian, mereka terus
mengalir tanpa mempermasalahkan ungkapan nyinyir
dari tukang pandir yang sirik tiada akhir.
Dari
kekaguman terhadap mereka, timbul keinginan untuk mengabadikan mereka dengan
cara yang bisa saya nikmati, ialah menulis. Saya tak hendak menulis catatan
tentang mereka, meskipun di dalamnya berkisah tentang sebagian keseharian
mereka. Catatan saya lebih sebagai buah pertemuan dan sapaan antara saya dengan
mereka.
Dari
sebuah perjumpaan atau sapaan, terjalin ikatan perjuangan dan pertarungan
sekaligus. Tak ada kata yang lebih enak bagi penggemar berat MotoGP yang bisa
menjadi pewadah perjuangan dan pertarungan selain battle.
Dari
ikatan tersebut, muncul interaksi antara kami, interaksi yang membuat saya bisa
menikmati saat berusaha mencermati, menggali, dan menemukan mereka dalam diri
saya. Sebab dari ikatan itu, saya bukan saja menangkap kesan
dari mereka, juga bisa menghayati.
Penghayatan
itulah yang saya rangkai menjadi penuturan tentang mereka yang disampaikan
dengan cara menjadikan diri saya sebagai pencerita. Karena saya menjadikan diri
saya sebagai pencerita, maka di dalam catatan ini pun sesungguhnya bercerita
tentang saya meski catatan ini saya beri judul Kamu Dalam aku.[i]
Kehadiran
mereka adalah salah satu peristiwa fenomenal yang saya alami. Satu peristiwa
yang terasa asyik. Asyiknya begini: banyak hal yang semula hanya saya pahami
sebagai penjelasan tertulis maupun penjelasan lisan, dari mereka semua itu bisa
saya mengerti melalui penjelasan berkesan setelah bersinggungan dengan
pengalaman pribadi.
Hingga
saat ini dan saat nanti, mereka selalu hadir dalam perjalanan saya. Hadir di
sini tidak berarti harus berupa kedatangan ragawi. Hadir di sini, seperti
dituturkan Gabriel Marcel, ialah “ada bersama walau tak mesti dalam ruang
maupun waktu yang sama”. Ada saatnya saya berpisah dengan mereka, entah karena
pindah alam atau pindah arah interaksi. Siapa yang bisa menjamin kalau saya tak
akan terlibat pertikaian berkelanjutan?
![]() |
Kamu Dalam aku — hold it against me until it's gone |
Bandung
Tepat 17 Tahun setelah berpisah dalam
ruang dan waktu dengan Epik
02:41
[i] Ungkapan
Kamu Dalam aku pertama kali saya
pakai untuk melukiskan kesan saya pada Park Bom karena dia adalah pendorong
luar biasa bagi saya apapun yang dilakukan olehnya dan terjadi padanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar